Karena Berlari Menyelamatkan Hidup dan Cintaku
Panggil saja aku Shinta, usiaku sekarang 25 tahun. Bekerja di sebuah perusahaan sebagai sekretaris dengan mobilitas yang tinggi. Di waktu luang aku menyalurkan hobby yang juga menambah penghasilan, menjadi model. Sebenarnya, pekerjaan sampingan ini adalah cita-cita dan impianku sejak kecil, namun aku memutuskan menjadikannya sebagai sampingan saja, karena aku tahu benar bahwa ada yang jauh lebih penting dari itu

Kembali ke 7 tahun lalu, di mana aku masih duduk di bangku sekolah dan tak punya banyak teman. Satu-satunya teman yang kumiliki bernama Yuni, dan yang aku tahu juga bukan teman yang baik (pada akhirnya). Tinggiku 160 cukup ideal untuk ukuran wanita, namun beratku saat itu 80 kg.

Aku memang lahir di keluarga yang bertubuh besar. Kata ibuku, yang penting sehat dan tidak sakit-sakitan. Tapi aku tak pernah sependapat dengannya, menurutku kami sama sekali tidak sehat dengan berat badan dan bentuk tubuh yang seperti saat ini. Sejak kecil aku selalu mendapat olok-olok dari teman di sekolah, dari orang-orang yang kutemui di jalan, juga termasuk sepupu-sepupuku. Aku tak pernah merasakan indahnya cinta pertama. Yang justru sering kurasakan adalah cintaku bertepuk sebelah tangan. Dan, apakah aku sudah pernah menyebutkan patah hati? Ya benar. Aku sering sekali patah hati.

Celakanya, saat aku merasa kecewa dan sedih, aku akan mencoba menenangkan diriku dan mengembalikan mood dengan semua makanan favoritku. Ibu dan ayahku sendiri justru semakin memanjakan aku dengan semua makanan enak-enak. Ya.. ya.. itu semua dilakukan karena mereka begitu menyayangi aku. Tak ingin melihat aku bersedih dan kecewa.

Hans, seorang keturunan Manado yang sejak dulu menjadi sosok yang kukagumi. Dia sosok yang manis, pendiam dan sopan. Di antara semua teman sekelasku, mungkin hanya dia yang selalu memperlakukan aku dengan baik. Sayangnya, karena pengalaman-pengalamanku sebelumnya, aku tak pernah berani berbicara dan menyapanya. Kalau ketemu, aku hanya menunduk dan mungkin hal yang paling berani kulakukan di depannya adalah tersenyum. Berbeda dengan pria-pria lain yang pernah menyakitiku, yang sering mengirim pesan jahat lewat secarik kertas, Hans selalu terlihat sempurna di mataku.

Pelajaran olahraga adalah yang paling kubenci. Dengan tubuh XXL ini aku sulit sekali bergerak. Sekali aku bergerak, serasa sekitarku ikut berguncang. Dan mulai deh, teman-teman pria sekelasku langsung menertawakan aku.

Suatu kali, aku merasa tubuhku kurang nyaman. Namun kupaksakan diriku berangkat ke sekolah juga. Dan tepat di pelajaran olahraga, tubuhku limbung. Masih terdengar sayup-sayup suara teman-teman wanita sekelasku yang berteriak-teriak.

Terbangun dari pingsan, ternyata aku sudah berada di rumah sakit. Dengan oksigen di hidung dan infus di tangan. Hah, kenapa ya aku?

Untungnya aku tak harus menginap. Malam harinya aku diperbolehkan pulang dan melakukan rawat jalan. Yang kudengar dari ibu, ada banyak lemak yang membungkus jantungku, membuat terkadang rasanya nyeri. Ah, seharusnya bukan hal yang mengherankan dengan tubuh sepertiku. Yang membuat aku terkejut sebenarnya, ternyata beratku sudah mencapai nyaris 100 kg. Oh tidak, Shinta... mau jadi apa kamu?

Dokter juga mengatakan, yang wajib kulakukan adalah diet dan berolahraga. Aku harus benar-benar memperhatikan setiap menu makanku. Mengisi aktivitas dengan olahraga rutin dan benar sehingga berat badanku bisa turun. Hanya itulah satu-satunya jalan, karena sebenarnya problem utama kesehatanku adalah terlalu banyak kandungan lemak di tubuhku.

Kematian, itulah ancamannya jika aku tidak segera menurunkan berat badanku. Sesuatu yang jauh lebih menyakitkan ketimbang sendirian, patah hati, dan tak punya teman.

Aku sempat menceritakan kondisiku pada Yuni. Dan jawabannya di luar dugaanku, ia tidak menyemangatiku, tidak mendukungku, dan malah menyalahkan aku atas kondisi tubuhku. Hmm... Dia mungkin tak sepenuhnya salah, hanya aku saja yang terlalu berharap ada orang yang mau berteman dan memberikan dukungannya kepadaku (hiburku).

Berjalan dalam kegundahan, diam-diam semua teman-teman di sekolah tahu kondisiku. Hahh... sudah bisa ditebak kan siapa yang menyebarkan berita tentang kondisi kesehatanku. Aku semakin malu, dan semakin merasa bersalah karena aku tak tahu harus berbuat apa. Di situlah awalnya, Hans mendekatiku.

Setiap sore hari, aku membagi waktu antara les pelajaran dan jadwal olahragaku. Partner yang membantuku berolahraga sungguh di luar dugaan. Dia adalah Hans, yang menawarkan bantuan tulus untukku. Katanya, ia ingat dengan kondisi salah seorang keluarga dekatnya, yang mengalami kasus sama sepertiku. Sayangnya pertolongan itu datang terlambat. Kini, ia tak mau kejadian serupa terulang lagi, sehingga ia bersedia membagi waktunya dan menemaniku berlatih.

Suatu keajaiban menurutku, bisa berbincang, bercanda dan melakukan kegiatan bersama Hans. Hal yang tak pernah kuduga sebelumnya akan terjadi.

Latihan yang kulakukan sebenarnya simple, berlari. Kata Hans, lari adalah olahraga yang murah, efektif dan mudah dilakukan. Awalnya, kami berlari memutari blok rumah. Semakin lama, jarak tempuhnya ditambah, kamipun seringkali menyelingi dengan menambahkan tantangan waktu sehingga kami bisa balapan di tempat yang kutuju. 1 bulan... 2 bulan... tak terasa hal itu sudah terjadi selama 1 tahun. Dan tebak saja, beratku saat ini sudah 60 kg. Yang mungkin bagi beberapa orang aku masih terlihat gemuk, tetapi bagiku ini adalah pencapaian luar biasa dari berat yang semula hampir 100 kg.

Lulus dari SMA, akupun masih melanjutkan kebiasaanku. Masih ditemani Hans dan dilakukan dalam jadwal yang rutin. Targetnya kini meraih berat badan idealku, agar aku bisa masuk ke kelas model seperti idamanku.

Hans, kini menjadi kekasihku. Mengubah statusnya dari seseorang yang kukagumi menjadi kekasih. Bukan karena berat badanku yang sudah turun lho. Jauh sebelum jarum di timbangan menunjuk ke angka 60, Hans sudah terlebih dahulu 'menembakku', memintaku menjadi kekasihnya dan menyatakan perasaannya padaku. Menurutnya, aku cantik, dan aku memiliki kepribadian yang menyenangkan, tulus, tak seperti wanita-wanita lain di kelasku.

Hingga saat ini, aku berhasil menyelamatkan hidupku, meraih cintaku, dan juga berat badan idealku. Banyak hal penting yang kupelajari dan selalu kuingat adalah aku tak pernah menyesali berat badanku, justru di sana aku bertumbuh dan belajar banyak hal baru. Aku juga tak lantas sombong karena memiliki badan yang ideal, karena aku pernah berada di posisi mereka yang dicibir dan diolok-olok. Dan aku juga tahu bahwa sebenarnya melarutkan diri dalam kegemukan dan makanan tidak akan membuat tubuh jadi sehat, justru mengundang ragam penyakit datang mengancam.

Terima kasih Hans, terima kasih lari yang menyenangkan, keduanya telah mengubah hidupku.

Pesanku, kepada teman-teman yang mungkin memiliki problem yang sama sepertiku, olahraga termurah dan efektif adalah berlari. Larilah demi kesehatanmu, demi impian dan cintamu.

Komentar

Postingan Populer